Mendengarkan radio adalah satu-satunya hiburan sampai dengan tahun 1978 saat saya sebelum
masuk Sekolah Dasar (SD) dan satu-satunya peralatan elektronik yang kami
miliki. Radio itu mereknya Telesonic warna bodinya merah. Radio itu diletkakan di atas lemari
pendek di ruang keluarga, antenanya diberi kawat tambahan diuntir-untir
kemudian diikatkan diplafon rumah kami. Saat
itu belum ada listrik, jadi untuk penerangan malam hari menggunakan lampu
minyak patromak, supaya Telesnonic merah dapat bersuara maka diberi sumber daya
battray.
Waktu-waktu mendengarkan radio seingat saya pada pagi hari,
siang hari, dan malam hari. Biasanya sebagai pendengar setia dan operator
adalah Uwak (kakak bapak), kami memanggilnya WakNgah. Pagi subuh dan malam di
band SW mendengarkan siaran berita luar negeri, masih terngiang-ngiang ditelinga adalah radio
Australia berbahasa Indonesia dengan suara pembukaan siaran seperti suara burung bersahutan. WakNgah mengerti
bahasa Belanda, Inggris dan Jepang, jadi siaran-siaran berbahasa tersebut didengarkannya juga. Kalau siang
mendengarkan sandiwara radio butir-butir pasir di laut di Radio Republik
Indonesia (RRI) yang episodenya banyak sekali.
Sekarang, disaat saya gemar mengoleksi radio transistor,
timbul rasa kangen dengan radio transistor Telesonic merah dan
ingin memiliki kembali. Setiap hari kalau ada kesempatan browsing di internet
kalau ada kolektor radio transistor yang ingin menjualnya, kalaupun ada sudah
terjual. Pada saat saya kuliah S1 di Yogyakarta memang sudah mendapatkannya
tapi warnanya biru, radio transistor
Telesonic warna merah yang saya inginkan.
Saat ini saya sedang studi di Pasca
Sarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta tempat yang tepat untuk mencari radio. Kenapa saya ngotot ingin memilikinya kembali?
Karena pada saat saya belajar membuat pemancar AM saat kelas satu Sekolah
Menengah Pertama (SMP) radio tersebut komponen-komponenya saya donorkan,
sedangkan bodinya dibuang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar